Senin, 08 April 2013


POTENSI  STRUKTUR DAN KOMPOSISI VEGETASI HUTAN GUNUNG TUMPA,   SULAWESI UTARA**

Abanius Yanengga / 090317012 **)

                                              I.PENDAHULUAN

1.1.      Latar Belakang

 Indonesia termasuk dalam hutan hujan tropis yang sebagian besar hutan-hutannya adalah hutan kompleks yang juga merupakan tempat yang menyediakan pohon dari berbagai ukuran. Di dalam kanopi iklim mikro berbeda dengan keadaan sekitarnya; cahaya lebih sedikit, kelembaban sangat tinggi dan temperatur lebih rendah. Variasi pertumbuhan terdapat juga dimana pohon yang kecil bernaung di bawah pohon yang besar. Pohon-pohon di lingkungan hutan  berkembang juga tumbuhan yang lain seperti pemanjat, epifit, tumbuhan pencekik, parasit, dan saprofit (Irwanto, 2007).
Keberadaan pohon pada ekosistem hutan akan dapat menyerap unsur hara dan air pada tanah. Daun-daun yang gugur, ranting, cabang, dan bagian lain yang tersedia menjadi makanan untuk sejumlah hewan invertebrata, seperti rayap,  jamur, dan bakteri. Unsur hara dikembalikan ke tanah lewat pembusukan dari bagian-bagian pohon yang gugur. Ini merupakan ciri hutan hujan tropis dalam persediaan unsur hara total sebagian besar terdapat dalam tumbuhan secara relatif kecil disimpan dalam tanah (Withmore, 1975).
Menurut Irwanto (2007), keanekaragaman hayati yang sangat tinggi merupakan suatu koleksi yang unik dan mempunyai potensi genetik yang besar pula. Namun, hutan yang merupakan sumberdaya alam ini telah mengalami banyak perubahan dan sangat rentan terhadap kerusakan. Sebagai salah satu sumber devisa negara, hutan telah dieksploitasi secara besar-besaran untuk diambil kayunya. Eksploitasi ini menyebabkan berkurangnya luasan hutan dengan sangat cepat. Keadaan semakin diperburuk dengan adanya konversi lahan hutan secara besar-besaran untuk lahan pemukiman, perindustrian, pertambangan, pertanian, perkebunan, peternakan serta kebakaran hutan yang selalu terjadi di sepanjang tahun. Dampak dari eksploitasi telah merubah struktur hutan sehingga banjir terjadi pada musim penghujan dan kekeringan pada musim kemarau. Dengan demikian jelas terlihat bahwa fungsi hutan sebagai pengatur tata air telah terganggu dan telah mengakibatkan berkurangnya keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya.
Keberadaan hutan dalam hal ini daya dukung hutan terhadap segala aspek kehidupan manusia, satwa, dan tumbuhan sangat ditentukan pada tinggi rendahnya kesadaran manusia akan arti penting hutan di dalam pemanfaatan dan pengelolaan hutan. Hutan menjadi media hubungan timbal balik antara manusia dan makhluk hidup lainnya dengan faktor-faktor alam yang terdiri dari proses ekologi dan merupakan suatu kesatuan siklus yang dapat mendukung kehidupan   (Rahmawaty, 2008). Hutan sebagai ekosistem harus dapat dipertahankan kualitas dan kuantitasnya dengan cara pendekatan konservasi dalam pengelolaan ekosistem hutan. Pemanfaatan ekosistem hutan akan tetap dilaksanakan dengan mempertimbangkan kehadiran keseluruhan fungsinya. Pengelolaan hutan yang hanya mempertimbangkan salah satu fungsi saja akan menyebabkan kerusakan hutan.
____________________________________________________________
1.      Makalah Seminar Usulan Penelitian Dibawakan Dalam Forum Seminar Jurusan Budidaya Fakultas Pertanian UNSRAT
2.      Mahasiswa Fakultas Pertanian UNSRAT Jurusan Budidaya Pertanian Progran Studi Ilmu      Kehutanan Dengan Komisi Pembimbing:Dr. Ir.Martina A.Langi,MSc (Ketua), Ir.Reinold P. Kaide MP, (Anggota) Wawan Nurmawan S,Hut,Msi (Anggota)


 

Analisis vegetasi hutan antara lain ditunjukan untuk mengetahui komposisi jenis dan struktur suatu hutan (Mueller- Dombois dan Ellenberg, 1974; Misra, 1980; Kusmana, 1997). Data tersebut berguna untuk mengetahui kondisi kesimbangan komunitas hutan (Meyer, 1952), menjelaskan interaksi di dalam dan antar spesies (Odum, 1971, Ludwig dan Reynolds, 1988), dan memprediksi kecenderungan komposisi tegakan dimasa mendatang (Whittaker, 1974).
Sulawesi Utara dapat dideskripsikan sebagai hutan tropis hijau (tropical evergreen forest) yang mencakup berbagai tipe vegetasi seperti hutan rawa dan bakau, hutan pantai, hutan pamah/dataran rendah, hutan pegunungan bawah, dan hutan gunung. Kawasan Hutan Propinsi Sulawesi Utara yang ditetapkan berdasarkan SK penunjukan Menteri Kehutanan Nomor 452/Kpts- II/1999   tanggal 17 Juni 1999 adalah seluas ± 1.615.070 Ha. Luas kawasan hutan ini mencakup 58,8% dari luas propinsi Sulawesi Utara dengan curah hujan maksimum 757 mm per tahun dan curah hujan minimum 135 mm per tahun dengan demikian hutan Sulawesi Utara merupakan salah satu hutan hujan tropis yang ada di Indonesia (Departemen Kehutanan, 2002).
Hutan Gunung Tumpa adalah salah satu kawasan hutan lindung di Sulawesi Utara terletak di kabupaten Minahasa Utara, merupakan habitat dari berbagai satwa (Kauditan, 2009). Terdapat sekitar 40% dari luas hutan telah rusak akibat dari perusakan dengan penebangan liar oleh manusia (MUC, 2009).
Penebangan liar dan konversi lahan yang terjadi pada Hutan Lindung  Gunung Tumpa  akan menyebabkan perubahan struktur dan komposisi vegetasinya. Hal ini akan menyebabkan terganggunya fungsi ekosistem hutan tersebut. Bagaimana dampak kerusakan hutan terhadap distribusi pohon di Hutan Lindung Gunung Tumpa pada saat ini belum banyak dipublikasikan. Padahal hutan ini sangat penting mengingat kawasan hutan ini merupakan kawasan hutan lindung dan juga sebagai sumber PAD bagi masyarakat sekitar. Berdasarkan hal tersebut di atas maka perlu dilakukan penelitian tentang analisis vegetasi pohon di Hutan Lindung Gunung Tumpa Minahasa Utara. 
1.2.            Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1.      Mengindentifikas potensi dan struktur hutan
2.      Untuk mengetahui Komposisi  Hutan Lindung Gunung Tumpa.


1.3.            Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk penyediaan informasi mengenai  struktur dan komposisi vegetasi hutan di hutan lindung gunung tumpa.

                            II.            TINJAUAN PUSTAKA

2.1.             Struktur dan Komposisi Vegetasi

Struktur suatu vegetasi terdiri dari individu-individu yang membentuk tegakan di dalam suatu ruang. Komunitas tumbuhan terdiri   dari sekelompok tumbuh- tumbuhan yang masing-masing individu mempertahankan sifatnya (Dombois & Ellenberg, 1974).

Menurut Kershaw (1973) dalam Irwanto (2006), struktur vegetasi terdiri dari 3 komponen, yaitu:
1.      Struktur vegetasi berupa vegetasi secara vertikal yang merupakan lapisan tumbuhan bawah, herba, semak, dan pohon penyusun vegetasi dalam suatu komunitas.
2.      Sebaran horisotal jenis-jenis penyusun yang menggambarkan letak dari suatu individu terhadap individu lain.
3.       Kemelimpahan (abudance) setiap jenis dalam suatu komunitas.
Ewusie (1992) dalam Mayor (1997), menyatakan bahwa vegetasi suatu komunitas dapat diukur secara kualitatif maupun kuantitatif. Ciri kualitatif yang terpenting pada komunitas antara lain adalah susunan flora dan fauna serta pelapisan berbagai unsur dalam komunitas. Ciri kuantitatifnya meliputi beberapa parameter yang dapat diukur seperti kekerapan (frekuensi), kepadatan dan penutupan.
Menurut Kusmana (1997), parameter kuantitatif vegetasi dari suatu tipe komunitas tumbuhan adalah:
a)      Kerapatan (density)
Kerapatan adalah jumlah individu suatu jenis tumbuhan dalam suatu luasan tertentu, misalnya 100 individu/ha. Bila ³ 50% dari bagian tumbuhan berada dalam petak contoh, maka dianggap tumbuhan tersebut berada dalam petak contoh dan harus dihitung pengukuran kerapatannya.
b)       Frekuensi
Frekuensi suatu jenis tumbuhan adalah jumlah petak contoh dimana ditemukan jenis tersebut dari sejumlah petak contoh yang dibuat. Biasanya frekuensi dinyatakan dalam besaran persen.
c)       Penutupan (covering)
Penutupan adalah proporsi permukaan tanah yang ditutupi oleh proyeksi tajuk tumbuhan. Penutupan selalu dinyatakan dalam persen karena proyeksi tajuk suatu tumbuhan dengan tumbuhan lainnya kemungkinan besar bertumpang tindih (overlapping). Penutupan bisa juga digambarkan oleh proyeksi basal area sebagai pengganti dari luasan areal tajuk.
Mempelajari komposisi vegetasi dapat dilakukan dengan pembuatan petak-petak pengamatan ataupun metode tanpa petak.         Petak -petak pengamatan sifatnya permanen atau sementara. Petak tersebut dapat berupa petak tunggal, petak ganda ataupun berbentuk jalur     (Irwanto, 2006).
Pelapisan berbagai unsur dalam komunitas, akan mudah dianalisis apabila telah dilakukan suatu pemilahan antar tingkat vegetasi. Berdasarkan hal tersebut maka Wyatt-Smith (1963) dalam Soerianegara (1976) dalam Alhamid (1988), membedakan lapisan masyarakat tumbuhan dalam tingkat permudaan hingga pohon sebagai berikut:
a.       Pancang atau sapihan (sapling) Permudaan yang tingginya 1,5 m atau lebih sampai pohon-pohon muda yang berdiameter kurang dari 10 cm.
b.    Tiang (pole) Pohon muda yang berdiameter antara 10 – 35 cm.
c.    Pohon (tree) Tumbuhan dewasa dengan diameter lebih dari 35 cm.
Komposisi dan struktur vegetasi hutan gunung tumpa sangat variasi jenis penyusunnya. Adapun kom-posisi jenis penyusun vegetasi di lokasi penelitian secara umum terdiri atas  bebe-rapa spesies, yaitu : Kayu Besi, Beringin sp,Nantu. Nilai penting dan kerapatan spesies yang paling  dominasi. Untuk nilai penting dan kerapatan spesies Kerapatan pohon pada lokasi penelitian berkisar 80-1.150 pohon/ha, dan tidak sesuai dengan kisaran toleransi 750-5000 pohon/ha (Ditjen Reboisasi dan Rehabilitasi lahan, 1997). Indeks bio-diversitas menunjukkan nilai yang ber-beda-beda pada lokasi penelitian, nilai keragaman tersebut berkisar 0,519 – 1,418. Semakin tinggi nilai keragaman me-nunjukkan semakin mantap komunitas tersebut.
Keanekaragaman (biodiversity), suatu komunitas dikatakan memiliki keane-karagaman spesies yang tinggi jika ko-munitas tersebut disusun oleh banyak spesies. Sebaliknya suatu komunitas dika-takan memiliki keanekaragaman spesies yang rendah jika komunitas itu disusun oleh sedikit spesies dan jika hanya ada sedikit saja spesies yang dominan. Komu-nitas tumbuhan hutan memiliki dinamika atau perubahan, baik yang disebabkan oleh adanya aktivitas alamiah maupun manusia.

2.2. Deskripsi Umum Gunung Tumpa

Gunung Tumpa adalah salah satu gunung yang terkenal  di Provinsi Sulawesi Utara dengan tipe kawasan hutan lindung.Kawasan Hutan Lindung Gunung Tumpa dengan Luas 215ha, Hutan lindung gunung tumpa terletak di sebelah utara wilayah kota manado, secara geografis terletak antara 1o30, 1o40, LU dan 124o40, -126o 50 BT. Dan Secara administrasi terletak pada dua wilayah yaitu Kota Manado dan Minahas Utara  HLGT  dengan ketingian 610-750 m dpl. Jika  pergi ke tempat ini, harus memahami kondisi jalannya terlebih dahulu. Gunung Tumpa yang cukup berisiko karena memiliki tanjakan yang tinggi dan gunung yang curam.Ketika berada di objek wisata yang indah ini, umumnya wisatawan,(Anonimus,2002). Palenewen, dkk. (1994) .
Hutan lindung gunung tumpa terletak pada lokasi yang strategis dilihat dari aspek ekologi, maupun  tata ruang , dimana kawasan hutan ini terletak pada daerah pengembangan parawisata Tamana Nasional Bunaken. Dari aspek  aksesibilitas areal hutan lindung gunung tumpa hanya berjarak 7 km dari Pusat  Kota Manado dan dapat di  katakan satu‑satunya ekosistem hutan alami yang paling dekat dengan kota  manado.
Secara administrasi hutan lindung ini termasuk kedalam dua wilayah yaitu: kota Madya  Manado (Molas Maras dan Tongkaina),  dan Kabupaten Minahasa Utara . Kelurahan Molas  yang dulunya dikenal dengan Molrasa merupakan salah satu dari lima kelurahan yang terdapat di sekitar hutan lindung gunung tumpa.Posisi molas persis di kaki hutan lindung gunung tumpa  sehingga gunung tumpa dijadikan sebagai Pusat Kecamatan Bunaken. Kelurahan Molas mempunyai batas batas sebagai berikut : Sebelah Utara, perbatasan dengan Kelurahan Meras, sebelah  Selatan perbatasan dengan Kelurahan Tumumpa,sebelah Barat,perbatasan dengan Pantai Molas  (Laut Teluk  Manado), dan di sebelah Timur berbatasan  dengan Kelurahan Pandu dan Bailing.

III.             METODOLOGI  PENELITIAN

3.1.         Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksankan hutan lindung Gunung Tumpa Manado,  Provinsi Sulawesi  Utara penelitian ini akan dilakukan selama 2 (dua) bulan yaitu ; bulan Maret    dan bulan April 2013 .




3.2.         Alat dan Bahan yang di gunakan
Dalam penelitian ini alat yang digunakan adalah:
1.         Daftar Pertanyaan dalam bentuk kuisioner yang di gunakan untuk panduan wawancara dengan  responden.
2.         Alat tulis menulis untuk mencatat hasil wawancara dan observasi lapangan
3.         Kamera di gunakan untuk mendokumentasikan informasi yang di angkap penting.
4.         Computer di gunakan untuk mengelolah data hasil wawancara dan observasi lapangan.

3.3.            Metode Penelitian
Metode yang akan di gunakan dalam penelitian ini adalah Metode survey  lapangan digunakan untuk mengidentifikasi vegetasi hutan dengan menggunakan teknik transek dengan petak persegi,
3.4.         Variabel dan cara pengambilan data
Penelitian ini meliputi parameter ekosistem vegetasi dengan variabel-variabel yang diamati sebagai berikut :
1.      Parameter biologi hutan

Sebelum mengadakan pengumpulan data, dilakukan pengamatan lapangan yang meliputi keseluruhan kawasan hutan dengan tujuan untuk melihat secara umum komposisi tegakan hutan secara fisiognomi serta keadaan fisik setempat dan lain sebagainya. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling dengan pertimbangan kerapatan vegetasi dilihat secara fisiognomi.
Dari setiap transek, data vegetasi diambil dengan menggunakan metode kuadrat plot.
Ada beberapa tahapan dalam mengambil data transek yaitu :
a)      Menarik meteran dengan posisi awal yang telah diberi tanda (patok atau pengecatan pohon).
b)      Menentukan blok (petak contoh/petak ukur) di sebelah kiri dan kanan garis transek berbentuk bujur sangkar dengan ukuran :
2)      10 x 10 m untuk pengamatan fase pohon;
3)      5 x 5 m untuk pengamatan fase pancang (sapling);
4)      2 x 2 m untuk pengamatan fase semai (anakan).
c)      Mekanisme pengambilan data sebagai berikut :
1)      Identifikasi setiap jenis vegetasi yang ada. 
2)      Mengukur diameter pohon se-tinggi dada dengan cara mengukur lingkaran pohon, kemudian di-hitung : Diameter = keliling pohon.
3)      Setiap data yang telah terkumpul dan teridentifikasi langsung dicatat dalam tabel pengamatan (tabulasi).








2.      Metode Analisis Vegetasi
Data yang telah ditabulasi kemudian dianalisis menggunakan metode analisis vegetasi sehingga didapatkan struktur dan komposisi vegetasi hutan. Metode analisis menggunakan formula-formula (Gopal dan Bhardwaj, 1979 dalam Indri-yanto, 2006) yaitu :
                             Jumlah total individu suatu jenis
Kerapatan (K) = ----------------------------------------                                                                                     
                               Luas petak ukur pengamatan (ha)      …..................……………(1)
Indeks Keragaman
 

H′ =  ln             ……………………(9)

Keterangan :
 H′ = Indeks keanekaragaman;
ni  = nilai penting dari setiap spesies;
N  = total nilai penting


IV.              DAFTAR PUSTAKA
Palenewen,J. L; H Walagitan dan H.Pollo.1994.Pengkajian dan Pengembangan Hutan Kota di Gunung Tumpa Kotamadya Manado.Laporan Penelitian. Kerja sama Fakultas Pertanian UNSRAT Manado dan Dinas Kehutanan  Provinsi Sulawesi Utara Manado.
Anonimus.2002.Profil dan Rencana Tata Ruangkota Manado 2002-201.Manado.
Dumbois,D,M.and H.Ellberg.1974.Aims and methods of vegetation Ecology.Jhn Wiley and Sons. New York,Chichester,Vriesbane,Toronto.
Kershaw,K.A, 1973. Quantitatif and Dinamic Plant Ecology. Second Edition.Edwar Arnold (Publisher) Limited,Lodon.
Erviana. 1992. Pengaruh Kadar Air Tanah Mineral terhadap Pertumbuhan Anakan Mahoni (Swietenia macrophylla King) pada Berbagai
Nai’em, 2001. Veriasi pada Spesies Pohon Hutan. Training Course on Basic Forest Genetics. Indonesia Forest Seed Project, Faculty of Forestry Gadjah Mada University, Yogyakarta.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar